Laman

Sabtu, 04 Juni 2011

KODIFIKASI HADITS Keadaan Hadits Abad II, III, IV, V sampai sekarang

A.    Pendahuluan
al-Hadits sebagai rujukan hukum Islam yang kedua, memiliki sejarah yang unik dibandingkan al-Quran. jika al-Quran sebagai rujukan yang pertama, maka tidak heran jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan. Beda halnya dengan al-Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang pada awal-awal Islam, penulisan al-Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal Islam masih terbilang sedikit yang hafal al-Quran ataupun ahli Qiraah. namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah tidak terhitung banyaknya.[1]
Keadaan seperti itu terus berlanjut, hingga akhir abad pertama. para ulama (Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan). maka muncullah khalifah Umar bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin sedikit menguraikan pelbagai fase perjalanan "pengkodifikasian" al-Hadits.

B.     Keadaan al-Hadits abad ke II H.
1.      Alasan Kodifikasi al-Hadits
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.)[2] sebagai (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah)[3] berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a.       Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.      Keingina beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.       Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits.[4]
Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah[5].
أكتب إلي بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه  (رواه الدارمي)
"Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.s. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarwan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertmakali mengodifikasikan  hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. bangunlah ulama-ulama pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary (w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.

2.      Ciri-Ciri Kitab Hadits yang dikodifikasikan pada abad ke- II
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi semata – semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash al-Hadits menurut kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian, karya ulama abad kedua ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu', dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif. sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad kedua antara lain :
1.      al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik pada tahun 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur. jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits. kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah. sebagaimana ia di isyarahkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan kitab "Tanwiru al-Hawalik", dan al-Khaththaby mengikhtisharnya dengan kitab yang beranama "Mukhtahsaru al-Khaththaby"
2.      Musnadu al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada dalam kitab al-Umm.
3.      Mukhtalifu al-Hadits, karya al-Imam al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, beliau menjelaskan dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi antara satu dengan yang lain.

C.    Periode Penyaringan Al-Hadits abad ke III
Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka.[6] maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu al-Sittah" yaitu:
1.      Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih[7]. karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082  hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'. namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari.[8] Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
2.      Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).[9]
3.      Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-'Asy'as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
4.      Sunan alTirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
5.      Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy (215-302 H.)
6.      Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H.)

D.    Periode Penghafalan Hadits (abad ke-IV)
Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz[10]. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
1.      Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
2.      Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3.      Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

E.     Periode Mengklasifikasikan dan Mensistemasikan Susunan Kitab-kitab hadits (abad ke V dan seterusnya)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4.      Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.       Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.       Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)[11]
2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy . [12]
3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.[13]
4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc, [14]


Simpulan
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar, dan melalui pelbagai pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan "terima kasih" belaka, penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata. paling tidak mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami kandungan hadits ataupun metode pemahamannya.



DAFTAR RUJUKAN
al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt. Beirut.
al-Maliki, Muhammad Bin Alwi. "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. ALMA'ARIF BANDUNG.
Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayin. Beirut




[1] Muhammad Bin Alwi al-Maliki, "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah. hlm 19-20.
[2] bahkan Umar bin Abdul Aziz sendiri termasuk orang yang menulis al-Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt.Beirut. hlm. 170
[3] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.105
[4] Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, Opcit.. hlm. 172
[5] dan al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (107 H.). lihat Muhammad Bin Alwi al-Maliki,Opcit. hlm 22
[6] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.109
[7] yang dimaksud dengan al-Jami', yaitu kitab hadits yang menghimpun delapan bab, yaitu Bab Akidah, Bab Hukum-hukum, Bab Perbudakan, Bab Tatakrama makan dan minum, Bab Tafsir, sejarah, Perjalanan, Bab Bepergian, Berdiri, dan Duduk (atau disebut dengan Babu al-Syamail), Bab Fitnah-fitnah, Bab al-Manaqib dan Matsalib. Dr. Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayiin" Beirut. hlm.122
[8] Ibid.. hlm.120
[9] Kitab tersebut berisi sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits-hadits yang berulang-ulang. jika tanpa hadits yang berulang-ulang hanya berjumlah 4000 hadits. Syarah Shahih Muslim yang terkenal ialah "Minhajul Muhadditsin" karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawy, dan diantara Mukhtasharnya ialah Mukhtashar al-Mundziri.. lihat , Fatchur. Rahman. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. Al  Ma'arif. Bandung. hlm. 57
[10] Ibid. hlm 58
[11] kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H. Ibid. hlm 60
[12] didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’). Ibid.
[13] keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M. Ibid.
[14] berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebuut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak dimesir pada tahun 1934 M. Ibid.

1 komentar: