Laman

Kamis, 16 Juni 2011

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

           Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum. Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha mentranformasi melalui berbagai formulasi kewarisan sesuai dengan pendapatnya masing-masing.
Yang sama pengertiannya dengan dengan waris adalah faroid yang menurut bahasa adalah kadar atau bagian, oleh karena itu hukum waris sama dengan hukum faroid. Dalam tulisan ini, akan dibahas "Azas-azas Hukum waris dalam Islam" yang bersumber dan pendapat para ulama' dan pakar hukum Islam termasuk yang diambil dari berbagai Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hokum waris Islam seperti Hukum Kewarisan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. I tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991), adanya ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2 alinea keenam, “ sehubungan dengan hal tebut, para pihak yang berperkaradapat mempertimbangakanuntuk memilih ukumapa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi :

1.      Azas Integrity : Ketulusan
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari keimanan seseorang untuk mentaati hukum Allan SWT, apalagi penjelasan umum angka 2 alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum waris mana yang akan dipergunakan- dalam menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Penghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi orang Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada ahirnya ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang terbaik, landasan kesadarannya adalah firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 85 : ”Barang siapa menuntut agama selain Islam, maka tiadalah diterima dari padanya, sedang dia di akhirat termasuk orang-orang merugi”

2.      Azas Ta' abbudi : Penghambaan diri
Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hokum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan demikian dapat kita lihat, setelah Allah SWT menjelaskan tentang hukum waris secara Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11 dan 12, kemudian dikunci dengan ayat 13 dan 14 : ”Demikianlah Batas-Batas (peraturan) Allah. Barangsiapa mengikut (perintah) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam surga yang mengalir air sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar" (an-Nisa'-13). “Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melampaui Batas-Batas (larangan)-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam neraka, serta kekal di dalamnya, dan untuknya siksaan yang menghinakan" (an-Nisa'- 14).

3.      Azas Hukukul Maliyah : Hak-hak Kebendaan
Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi :
a.       Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b.      Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c.       Menyelesaikan wasiat pewaris;
d.      Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak

4.      Azas Hukukun Thabi’iyah : Hak-Hak Dasar
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni : hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama.
Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping (saudara)..
Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa macam penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173 yang berbunyi: “Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : a.      dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; b.      dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.

5.      Azas Ijbari : Keharusan, kewajiban
Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan. Azas Ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain yaitu
a.       Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
b.      Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
c.       Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.

6.      Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 :
”Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).
Dalam surat an-Nisa' ayat 11 : ”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk musing-masingnya seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya.
Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui, siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (an-Nisa'-11 ).
Selanjutnya surat an-Nisa' ayat 12 :
”Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu, jika kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka untuk mereka seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan yang diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam.
Kalau mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat pada sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya, tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat (perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(an-Nisa'-12).
Dalam surat yang sama ayat 176 :
“Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah: Allah memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk saudara perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki juga mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara perempuan itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua pertiga dari peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang saudara, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat.
Allah Maha mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-176).

7.      Azas Individual : Perorangan
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Azas Individual ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 : “Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).
Dalam surat an-Nisa ayat 8 :
“Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib kerabat (yang tidak mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang orang miskin, berilah mereka itu sekedamya dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik (an-Nisa'-8)
Kemudian surat an-Nisa' ayat 33 :
“Untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami adakan ahli waris dari peninggalan ibu dan bapak dan karib kerabat yang terdekat dan orang-orang yang telah bersumpah setia kepada kamu, maka hendaklah kamu berikan kepada mereka bagiannya masing-masing. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas tiatiap sesuatu” (an-Nisa'-33).
Begitu juga surat an-Nisa' ayat 11 :
”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya.
Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui, siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menngetahui lagi Maha Bijaksana (an-Nisa'-11 ).
Surat an-Nisa' ayat 12 :
“Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu, jika kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka untuk mereke seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan yang diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam. Kalau mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat pada sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya, tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat (perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (an-Nisa'- 12).
Surat An-Nisa ayat 176 :
”Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah : Allah memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk saudara perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki juga mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara perempuan itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua pertiga dari peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang saudara, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat. Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-1.76).

8.      Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Qs. 2:233)
Begitu juga pada surat At-Talaaq ayat 7 :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. 65:7)
Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak.
Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa yang diperoleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta warisan manfaatnya akan sama mereka rasakan.

9.      Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
Dengan demikian, kewarisan Islam adalah kewarisan yang menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW) disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang disebut testamen.

10.  Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara : Menentukan siapa yang menjadi Ahli waris dengan bagiannya masingmasing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.
Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan, atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang ditetapkan, telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Aul dan Rad pasal 192 berbunyi :
Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang.
Pada pasal 193 berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih.kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka angka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedangkan sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.

Penutup
Dari sepuluh azas Hukum Kewarisan dalam Islam tidak terdapat yang berkaitan dengan azas perdamaian, walaupun memang Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersifat mengatur (regelen), tidak bersifat mutlak (dewingend) dalam arti para pihak dimungkinkan untuk membagi warisan di luar ketentuan itu, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak masingmasing.
Akan tetapi karena ketentuan hukum waris dalam Islam dalam pelaksanaannya merupakan pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai salah satu bentuk ibadah, maka penyimpangan terhadap ketentuan waris secara Islam semestinya tidak terjadi, sebab bila terjadi, maka termasuk orang yang merugi.
Jalan keluarnya agar kita tidak merugi adalah : selesaikan dahulu pembagian waris secara Islam, kemudian setelah kita terima bagiannya atau sekurang-kurangnya sudah tahu bagian kita, barulah kita serahkan kepada pihak lain bagian itu baik kepada orang tua, saudara atau lainnya dalam bentuk shadaqoh, hibah atau hadiah. Dengan demikian kita sudah melakukan dua macam ibadah kepada Allah SWT dalam objek yang sama; yaitu dengan cara membagi waris secara Islam dan memberi shadaqoh kepada orang lain. Keduanya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

IBU


Ibu...
adalah wanita yang telah melahirkanku
merawatku
membesarkanku
mendidikku
hingga diriku telah dewasa

Ibu...
adalah wanita yang selalu siaga tatkala aku dalam buaian
tatkala kaki-kakiku belum kuat untuk berdiri
tatkala perutku terasa lapar dan haus
tatkala kuterbangun di waktu pagi, siang dan malam

Ibu...
adalah wanita yang penuh perhatian
bila aku sakit
bila aku terjatuh
bila aku menangis
bila aku kesepian

Ibu...
telah kupandang wajahmu diwaktu tidur
terdapat sinar yang penuh dengan keridhoan
terdapat sinar yang penuh dengan kesabaran
terdapat sinar yang penuh dengan kasih dan sayang
terdapat sinar kelelahan karena aku

Aku yang selalu merepotkanmu
aku yang selalu menyita perhatianmu
aku yang telah menghabiskan air susumu
aku yang selalu menyusahkanmu hingga muncul tangismu

Ibu...
engkau menangis karena aku
engkau sedih karena aku
engkau menderita karena aku
engkau kurus karena aku
engkau korbankan segalanya untuk aku

Ibu...
jasamu tiada terbalas
jasamu tiada terbeli
jasamu tiada akhir
jasamu tiada tara
jasamu terlukis indah di dalam surga

Ibu...
hanya do'a yang bisa kupersembahkan untukmu
karena jasamu
tiada terbalas

Hanya tangisku sebagai saksi
atas rasa cintaku padamu

Ibu..., I LOVE YOU SO MUCH
juga kepada Ayah...!!!

    Minggu, 05 Juni 2011

    Tentang Iman

    Hadits Tentang Iman


    عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .  
    [رواه مسلم]

    Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

    Catatan :
    Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
    Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah)

    Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
    Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi  pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
    Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
    Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
    Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
    Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.
    Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan.
    Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
    Didalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis ilmu.

    Islam, Iman, dan Ihsan
    Agama Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
    Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

    Iman Bertambah dan Berkurang
    Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegerttian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

    Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman
    Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.
    Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

    Batasan Minimal Sahnya Keimanan
    Iman kepada Allah.
    Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

    Iman kepada Malaikat.
    Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.

    Iman kepada Kitab-kitab.
    Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

    Iman kepada Para Rasul.
    Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

    Iman kepada Hari Akhir.
    Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

    Iman kepada Taqdir.
    Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.
    Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lesannya, dan anggota badannya.

    Sabtu, 04 Juni 2011

    KODIFIKASI HADITS Keadaan Hadits Abad II, III, IV, V sampai sekarang

    A.    Pendahuluan
    al-Hadits sebagai rujukan hukum Islam yang kedua, memiliki sejarah yang unik dibandingkan al-Quran. jika al-Quran sebagai rujukan yang pertama, maka tidak heran jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan. Beda halnya dengan al-Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang pada awal-awal Islam, penulisan al-Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal Islam masih terbilang sedikit yang hafal al-Quran ataupun ahli Qiraah. namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah tidak terhitung banyaknya.[1]
    Keadaan seperti itu terus berlanjut, hingga akhir abad pertama. para ulama (Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan). maka muncullah khalifah Umar bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.
    Dalam makalah singkat ini, penulis ingin sedikit menguraikan pelbagai fase perjalanan "pengkodifikasian" al-Hadits.

    B.     Keadaan al-Hadits abad ke II H.
    1.      Alasan Kodifikasi al-Hadits
    Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
    Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.)[2] sebagai (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah)[3] berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
    a.       Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
    b.      Keingina beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
    c.       Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
    Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits.[4]
    Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah[5].
    أكتب إلي بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه  (رواه الدارمي)
    "Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
    Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.s. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarwan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertmakali mengodifikasikan  hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
    Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. bangunlah ulama-ulama pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary (w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
    Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.

    2.      Ciri-Ciri Kitab Hadits yang dikodifikasikan pada abad ke- II
    Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi semata – semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash al-Hadits menurut kelompok-kelompoknya.
    Dengan demikian, karya ulama abad kedua ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu', dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif. sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad kedua antara lain :
    1.      al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik pada tahun 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur. jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits. kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah. sebagaimana ia di isyarahkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan kitab "Tanwiru al-Hawalik", dan al-Khaththaby mengikhtisharnya dengan kitab yang beranama "Mukhtahsaru al-Khaththaby"
    2.      Musnadu al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada dalam kitab al-Umm.
    3.      Mukhtalifu al-Hadits, karya al-Imam al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, beliau menjelaskan dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi antara satu dengan yang lain.

    C.    Periode Penyaringan Al-Hadits abad ke III
    Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka.[6] maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu al-Sittah" yaitu:
    1.      Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih[7]. karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082  hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'. namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari.[8] Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
    2.      Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).[9]
    3.      Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-'Asy'as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
    4.      Sunan alTirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
    5.      Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy (215-302 H.)
    6.      Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H.)

    D.    Periode Penghafalan Hadits (abad ke-IV)
    Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
    Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz[10]. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
    1.      Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
    2.      Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
    3.      Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
    4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

    E.     Periode Mengklasifikasikan dan Mensistemasikan Susunan Kitab-kitab hadits (abad ke V dan seterusnya)
    Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
    1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
    2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
    3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
    4.      Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
    Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
    1.       Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
    2.       Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
    Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
    1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)[11]
    2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy . [12]
    3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.[13]
    4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc, [14]


    Simpulan
    Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar, dan melalui pelbagai pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan "terima kasih" belaka, penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata. paling tidak mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami kandungan hadits ataupun metode pemahamannya.



    DAFTAR RUJUKAN
    al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt. Beirut.
    al-Maliki, Muhammad Bin Alwi. "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah.
    Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
    Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. ALMA'ARIF BANDUNG.
    Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayin. Beirut




    [1] Muhammad Bin Alwi al-Maliki, "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah. hlm 19-20.
    [2] bahkan Umar bin Abdul Aziz sendiri termasuk orang yang menulis al-Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt.Beirut. hlm. 170
    [3] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.105
    [4] Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, Opcit.. hlm. 172
    [5] dan al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (107 H.). lihat Muhammad Bin Alwi al-Maliki,Opcit. hlm 22
    [6] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.109
    [7] yang dimaksud dengan al-Jami', yaitu kitab hadits yang menghimpun delapan bab, yaitu Bab Akidah, Bab Hukum-hukum, Bab Perbudakan, Bab Tatakrama makan dan minum, Bab Tafsir, sejarah, Perjalanan, Bab Bepergian, Berdiri, dan Duduk (atau disebut dengan Babu al-Syamail), Bab Fitnah-fitnah, Bab al-Manaqib dan Matsalib. Dr. Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayiin" Beirut. hlm.122
    [8] Ibid.. hlm.120
    [9] Kitab tersebut berisi sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits-hadits yang berulang-ulang. jika tanpa hadits yang berulang-ulang hanya berjumlah 4000 hadits. Syarah Shahih Muslim yang terkenal ialah "Minhajul Muhadditsin" karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawy, dan diantara Mukhtasharnya ialah Mukhtashar al-Mundziri.. lihat , Fatchur. Rahman. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. Al  Ma'arif. Bandung. hlm. 57
    [10] Ibid. hlm 58
    [11] kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H. Ibid. hlm 60
    [12] didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’). Ibid.
    [13] keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M. Ibid.
    [14] berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebuut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak dimesir pada tahun 1934 M. Ibid.